Hampir 25 tahun dan masih belum punya pacar. Is it a big deal? NOPE! For sure.

Kenapa setiap kali ketemu temen, sering sekali berulang pertanyaan yang sama, “Kamu sama siapa sekarang?” dan setiap kali itu pula saya akan mengulangi jawaban yang sama, “Belum sama siapa-siapa”, ditambah senyum saya yang paling manis.

Pertanyaan yang wajar, mengingat selama berteman dengan mereka saya memang tidak pernah memperkenalkan seorang laki-laki yang berlabel ‘pacar saya’, namun jadi agak mengganggu ketika muncul pernyataan susulan seperti ini : “Kamu sih terlalu pemilih, standarmu terlalu tinggi”. Biasanya saya akan diam barang satu dua detik, tersenyum, lalu berkata “engga juga ah”. Tadinya saya selalu mengabaikan pernyataan ini, tapi setelah dua orang teman saya mengatakan hal yang sama berturut-turut di sesi obrolan panjang yang berbeda saya jadi bertanya pada diri sendiri. Do I? (seorang pemilih maksudnya).

Kalau memilih jelas iya. Wong untuk barang-barang yang saya pakai dari ujung rambut sampai ujung kaki saja saya pilih-pilih, masa untuk menetapkan seorang pacar, yang mana berpotensi untuk jadi pendamping hidup saya nantinya, saya tidak memilih? Jelas saya ingin yang terbaik. Pertanyaan sebenarnya adalah “Apakah saya menetapkan standar yang terlalu tinggi?”. Rasanya kok tidak ya.

Saya memang punya criteria, tapi yang sifatnya kualitatif. Misalnya, seorang yang akan menjadi pacar saya nanti haruslah seorang yang bisa saya ajak bicara soal apa saja, seorang yang bertanggung jawab terhadap diri dan masa depannya, seorang yang selalu bisa membuat saya tertawa. Hal-hal seperti itu, bukan hal-hal yang sifatnya kuantitatif seperti seorang itu haruslah tinggi, harus punya pekerjaan bergengsi, harus berpenghasilan tetap dengan nominal sekian rupiah, harus punya ini, harus punya itu, harus begini, harus begitu. Tidak, saya tidak pernah menetapkan criteria seperti itu. Walaupun sekali waktu saya pernah merasa terpesona pada seseorang karena atribut yang melekat pada dirinya (yah selain ganteng dan punya senyum manis, dia punya pekerjaan yang baik, pintar, aktif, rajin olahraga, punya banyak pengalaman untuk di-share, and he has a very nice ride, hehehe,,,, ). But then I realize that I don’t really like him, I just like the idea of having someone like him.

Saya lalu jadi ingat ketika cinta pertama saya dulu bertanya apa yang membuat saya sayang sama dia. Waktu itu saya hanya bilang “I don’t know, I just like you”. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, saya jatuh hati padanya karena dia selalu bisa saya ajak bicara soal apa saja, saya selalu bisa menjadi diri saya sendiri di hadapannya, dia selalu bisa memotivasi saya dengan caranya sendiri, dan saya selalu bisa tertawa di sampingnya (juga nangis-nangis Bombay banget waktu dia pergi). That’s why I used to love him.

Jadi rasanya saya menetapkan criteria yang wajar. Bukankah kualitas seperti itu yang kita harapkan ada di pasangan kita?. Iya kan?.

Selain soal standar saya yang katanya tinggi padahal engga, saya juga baru menyadari bahwa saya tidak pernah kesepian. Memang ada saat-saat dimana saya merasa benar-benar sendiri, karena saya jauh dari keluarga, jauh dari sahabat-sahabat saya, tinggal di kota yang baru saya kenal, dan saya tidak punya pacar tempat berkeluh-kesah. Tapi ketika di penghujung suatu weekend saya memutuskan bahwa saya akan mulai menikmati kota tempat saya mengais rejeki sekarang ini, saya kemudian sadar bahwa saya tidak seharusnya merasa kesepian. Saya punya sahabat-sahabat baru disini, saya punya teman lama yang sama-sama bekerja di kota ini, dan kota ini juga punya banyak sudut menarik untuk dijelajahi (walaupun tetep ga ngalahin Solo, hiks,,,, jadi kangen). Saya tetap punya sahabat-sahabat untuk berbicara soal apa saja, meskipun hanya lewat jaringan seluler, jaringan internet, dan jaringan pertemanan bernama facebook, I never lose them. Jadi, rasanya saya tidak punya alasan untuk merasa kesepian. Di weekend itu saya kemudian memutuskan untuk menghubungi beberapa orang teman, membuat janji temu, jalan ke sana, jalan ke sini, dan saya melewati weekend yang sangat menyenangkan yang rasanya baru kali pertama saya nikmati setelah setahun tinggal di kota ini. This is how a life should be.

Dan ya, saya tidak punya alasan untuk tidak menikmati masa single saya. Being single is an option, being happy is a must!.